Iyakah Menyadarkan Tanpa Mempermalukan?
"The ever-present Toni". Masih ingat dia? Tidak? Itu
lho si Toni yang (mengaku) selalu ada "di sana", di tempat yang
sedang jadi bahan pembicaraan. "Kebetulan aku persis ada di situ melihat
sendiri". Toni, si "Saya-Juga-Tahu". Disebut begitu karena
senantiasa mengklaim "tahu" nyaris mengenai segala sesuatu.
Mengetahui semua peristiwa, obat untuk segala penyakit, jawab untuk segala
pertanyaan, dan ... mengenal hampir semua orang terkenal. "Saya dengan dia
dulu "kan sering main bola sama-sama". Orangnya berpembawaan ramah
dan senang bergaul. Karena itu ia disukai banyak orang. Tapi biasanya tak lama.
Cuma sampai orang tahu "belang"nya. Tahu siapa Toni yang sebenarnya.
Dan serta-merta berubahlah ia menjadi Toni, si "Mulut Ember".
"Orang seperti Toni itu memang tidak jahat, tapi "nyebelin",
begitu kata mereka. Maka sungguh malanglah nasib si "Saya-Juga-Tahu"
ini. Ia berbuat begitu, dengan tujuan diterima menjadi kawan sebanyak mungkin
orang. Kini, orang justru satu demi satu menghindarinya.
APAKAH Anda termasuk orang yang tak terlalu sabar menghadapi
orang- orang tipe "Saya-Juga-Tahu"? Kalau "ya", maka memang
tak ada yang lebih bisa memberi kepuasan batin dari pada menelanjangi dan
mempermalukan mereka di depan umum. Biar nyaho dia! Biar kapok! Namun sebelum
ini Anda lakukan, tolong Anda pertimbangkan baik-baik dan kemudian jawab dulu
dua pertanyaan berikut. Pertama, yakinkah Anda bahwa mempermalukan orang ini
benar-benar akan memuaskan batin Anda? Perkiraan saya, Anda memang berhasil
membuat mereka malu besar. Hingga ia tak punya muka dan nyali lagi untuk
muncul. Mengurung sambil meratapi diri. Atau pergi mencari sasaran lain. Dengan
demikian, Anda memang terbebas. Tapi, pertanyaan saya, puaskah Anda? Saya
mempersoalkan ini karena saya yakin, bahwa bukan ini yang menjadi tujuan akhir
Anda. Yakni, membuang mereka. Malah sebaliknya, Anda ingin membuatnya menjadi
oang yang lebih baik, bukan? Tentu! Sebab bila diibaratkan mesin, orang-orang
itu "benar" perlu perbaikan. Tapi tak perlulah mereka sampai dibuang.
Sayang.
PERTANYAAN yang kedua adalah: apakah Anda sendiri, bahkan kita semua
"dengan satu dan lain cara" tak pernah melakukan hal-hal yang mirip
dengan yang mereka lakukan? Misalnya, ngotot mempertahankan suatu pendapat,
yang kita sendiri sebenarnya belum yakin benar akan benar- salahnya? Atau,
setelah membaca atau mendengar suatu desas-desus, segera meyakininya sebagai
kebenaran, dan menyebar-luaskannya ke mana-mana, walau kemudian Anda tahu bahwa
faktanya tidak begitu? Atau merasa rendah diri melihat orang lain lebih tahu
ketimbang kita? Bila kita mengakui bahwa kita pun tak luput dari
perbuatan-perbuatan semacam itu, lalu apa dasarnya sehingga kita merasa lebih
baik, serta punya missi untuk "memperbaiki"? Saya tidak menyarankan
agar kita diam saja, membiarkan orang-orang seperti Toni tanpa sadar
"menggali kubur mereka sendiri". Tapi sebaliknya, kita juga tidak
berhak untuk menganggap mereka kurang dari manusia, hingga boleh kita caci maki
sekehendak hati. Saran saya adalah, apa pun yang kita lakukan, lakukanlah
dengan tidak terburu-buru menghakimi mereka! Pahami dulu mereka lebih saksama!
SALAH SATU cara agar
kita sendiri terhindar dari godaan bersikap "reaktif" yang
berlebih-lebihan, dan menjadi "over-acting", adalah menganggap apa
yang mereka lakukan itu "betapa pun menyebalkan, memang";adalah
sekadar "gangguan kecil" yang tak terlalu berarti. Analoginya adalah,
sama seperti bila suatu ketika Anda sedang mengemudikan mobil di jalan yang
ramai. Tapi, astaga, pada saat Anda membutuhkan konsentrasi penuh, eee, ada
lalat yang tak tahu diri terbang, dan hinggap ke sana kemari di dalam mobil
Anda. Apa reaksi Anda? Terganggu oleh tingkah si lalat itu, tentu saja. Namun
Anda mesti memilih satu antara dua. Apakah Anda tetap berkonsentrasi pada
kemudi Anda, dan menganggap lalat itu sebagai "gangguan kecil", yang
akan Anda atasi nanti pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat? Atau
Anda menganggapnya sebagai "gangguan yang tak dapat ditolerir"? Lalu
sibuk mencari apa saja yang dapat Anda pakai untuk menggebuk dan melenyapkan
lalat itu, dengan akibat ... Anda tahu sendiri-lah? Dengan perkataan lain, yang
ingin saya katakan adalah, "gangguan" memang adalah
"gangguan". Ia mengganggu. Karena itu tidak kita biarkan begitu saja.
Tapi kita harus menghilangkan gangguan itu secara proporsional. Jangan membakar
seluruh rumah hanya untuk mengusir nyamuk! Agar kita dapat menghadapi
orang-orang bertipe "Saya-Juga-Tahu" secara proporsional, ada tiga
sikap batin yang perlu kita miliki.. Pertama, memahami benar siapa mereka.
Kedua, memiliki compassion. Yaitu perpaduan antara kepedulian, iba , serta
dorongan untuk menolong. Dan akhirnya, ketiga, adalah kesabaran. Tanpa
pemahaman yang benar, kita pasti akan salah tindak. Sebab yang kita hadapi
bukanlah "mereka" yang sebenarnya, melainkan "stereotip"
bikinan kita sendiri. Dengan perkataan lain, kita telah menekan nomor telepon
orang lain. Lalu, kedua, compassion kita perlukan, karena motivasi inilah satu-
satunya motivasi yang benar dalam menghadapi mereka. Tindakan kita tidak
didasarii oleh sikap jengkel, atau ingin mempermalukan, atau agar "tau
rasa lu!". Tapi oleh keinginan memberi pertolongan kepada orang yang
membutuhkannya. Kerinduan memberi obat kepada orang sakit yang memerlukannya.
Sedang, ketiga, sikap ekstra sabar sungguh diperlukan menghadapi mereka. Atau
kita akan terjebak oleh sikap reaktif kita sendiri. Sebab tak mudah menolong
orang-orang semacam mereka. Mereka adalah orang-orang yang ingin dianggap
"hebat". Tidak mau diperlakukan sebagai "pasien".
AGAR tindakan kita tepat arah dan mengenai sasaran, kita mesti
senantiasa sadar akan tujuan utama kita. Maksud saya, bila tujuan kita adalah
Denpasar, ya ke Denpasar-lah pikiran kita pusatkan dan kaki kita langkahkan.
Jangan mudah menyimpang ke obyek-obyek lain, betapa pun menariknya. Dalam
menghadapi orang-orang tipe "Saya-Juga-Tahu", tujuan kita satu pula.
Yakni membuat mereka jera, tanpa kehilangan muka. Menyingkap dusta mereka,
tanpa membuat mereka jadi defensif. Bagaimana caranya? Pertama, jangan beri
mereka perhatian yang terlalu besar. Pada satu pihak, sama sekali tidak memberi
perhatian, akan membuat jalur komunikasi dengan mereka terputus. Ini tidak
sesuai dengan sikap batin kita. Sebab sesungguhnyalah kita justru sangat
mempedulikan mereka. Namun demikian, memberi perhatian terlalu besar, akan
mengirim sinyal yang salah. Mereka merasa berhasil, dan merangsang mereka
tambah bersemangat "mengarang" kisah-kisah fiktif baru. Lalu kita pun
akan bertambah kesal dan sebal. Dengan akibat, mudah terprovokasi.
KEDUA, bila Anda
merasa mereka telah semakin keterlaluan, inilah saatnya Anda memberi komentar.
Kejar dan desak mereka untuk melengkapi cerita-cerita mereka dengan fakta dan
data yang diperlukan. "Belum berapa lama saya bertemu dan bercakap-cakap
dengan Presiden SBY. Kami "kan kenalan lama". "O ya? Belum
berapa lama itu kapan? Di mana? Dalam kesempatan apa?". "O, baru
kemarin dulu, di Istana Merdeka. Saya diundang ke sana". "Lho,
kemarin dulu "kan beliau tidak ada di Jakarta. Dan boleh saya lihat surat
undangannya?" Terus lakukan demikian, sampai ia sendiri sadar akan apa
yang ia lakukan, dan semakin berhati-hati dalam mengumbar cerita. Namun dalam
melakukan ini, Anda sendiri hendaknya amat berhati-hati dengan "bahasa
tubuh" Anda. Sorot mata Anda, nada suara Anda, gerak- gerik Anda, jangan
sampai memberi kesan seolah-olah Anda adalah polisi yang sedang menyidik atau
jaksa yang sedang menuntut. Kesan ini akan membuat ia semakin defensif.
Baginya, Anda adalah ancaman. Ia akan menutup diri. Memutuskan jalur
komunikasi. Dan kesempatan Anda untuk melakukan sesuatu yang positif pun akan
lenyap. Yang terpenting adalah, Anda menyadarkan, tanpa mempermalukannya.
0 komentar:
Posting Komentar