Mengapa Kita Harus Jujur?
Alasan
pertama, tak seorang pun ingin ditipu atau dibohongi. Alasan kedua, kejujuran
adalah dasar dari perbuatan-perbuatan baik lainnya. Begitulah jawaban
singkatnya.
Apakah di antara kita semua ada yang ingin ditipu, dibohongi,
diingkari janji, dikhianati, dicurangi, atau difitnah? Tentu tidak ada.
Mengapa? Semua perbuatan tersebut adalah perbuatan yang
merugikan, terutama bagi orang lain. Adakah orang yang mau rugi atau
dirugikan, sekarang maupun pada akhirnya nanti? Tidak ada, ‘kan?
Maka, jika kita tidak ingin dirugikan melalui cara-cara yang tidak
jujur seperti itu, kita sendiri harus jujur. Kita harus menjalani hidup
sejujur-jujurnya (kecuali dalam beberapa hal seperti perang). Jujurlah kepada
diri kita sendiri. Jujurlah kepada orang lain, bahkan juga makhluk lain. Dan
jujurlah kepada Tuhan Yang Mahatahu.
Jujurlah mulai dari dalam niat, terus berlanjut dalam sikap batin,
dalam pikiran, dalam sikap jasmani, dalam ucapan, hingga jujur dalam tindakan
atau perilaku. Kejujuran itu seperti rantai yang tak boleh putus, jadi harus
kuat di semua mata rantainya. Tidak jujur di salah satunya, menjadikan keseluruhannya
tidak jujur.
Kejujuran seseorang terpancar atau tercermin pada perbuatan-perbuatan
baik lainnya. Suatu perbuatan adil hanya mungkin dirasakan bila didasari
kejujuran. Perbuatan yang tidak jujur akan memunculkan ketidakadilan. Hakim
yang menerima suap akan membuat
keputusan yang lebih menguntungkan penyuap tetapi merugikan pihak lain. Jadi,
tak ada keadilan bila tak ada kejujuran.
Seseorang disebut
bertanggung jawab karena ia jujur atas apa yang dilakukannya. Dan, ia
menanggung akibat dari semua jawaban yang dikatakannya. Ia juga cenderung
berkata apa adanya, tidak berbelit-belit, tidak banyak ber-rahasia. Seseorang
yang jujur memperlihatkan sikap konsisten,
istiqomah (lurus), taat, setia pada kebenaran,
setia pada kawan, setia pada janji, dan seterusnya.
Namun, mungkin saja ada
orang yang terjebak berbuat konsisten karena dari awalnya sudah keliru.
Misalnya, sejak remaja ia terbiasa bertingkah keliru karena memperoleh rasa
senang dan nyaman, juga karena ikut-ikutan atau tidak tahu pasti alasan
tindakannya. Dalam hal seperti ini biasanya ia akan melengkapi “konsistensi”-nya
itu dengan pembenaran, yakni pengetahuan yang hanya seolah-olah benar padahal
keliru. Di sini terjadi konsistensi yang negatif. Untuk memperbaikinya, ia
harus berterus-terang atau jujur atas apa yang terjadi sejak awal.
Kejujuran disertai dengan pengetahuan yang luas akan melahirkan
kearifan atau kebijaksanaan. Kejujuran dengan pengetahuan yang sedikit akan
menampakkan keluguan.
Bagi yang beragama Islam: “Sesungguhnya kejujuran itu mengantarkan
pada kebaikan dan kebaikan itu mengantarkan ke surga” (Hadis
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim). anakbertanya
|
0 komentar:
Posting Komentar