Hidup di dunia ini dengan
berbagai aspeknya selalu menghadirkan pilihan-pilhan. Dan semua kita yang masih
hidup harus dan pasti memilih diantara pilihan-pilihan yang tersedia. Tidak
mungkin tidak. Perbedaannya mungkin hanya apakah sebuah pilihan diambil dengan
penuh kesadaran, kesengajaan, pemahaman, pertimbangan, perhitungan, dan
pertanggungan jawab, ataukah tidak. Bahkan termasuk sikap tidak memilih itu
sendiri sebenarnya juga sebuah pilihan.
Dan kualitas diri
seseorang itu ditentukan antara lain oleh sikap dan caranya dalam menentukan
pilihan-pilihan dalam hidupnya, serta kemampuannya dalam mempertanggung
jawabkan setiap pilihan yang diambilnya.
Karena setiap pilihan dalam hidup pasti ada
konsekuensi dan resikonya, maka biasakanlah diri agar selalu memilih secara
sadar, sengaja dan bertanggung jawab. Lebih-lebih lagi karena setiap pilihan
juga pasti akan ditanya tentangnya dan diminta pertanggungan jawabnya. Maka
janganlah pernah sekali-kali tidak peduli dalam memilih apa saja dan siapa
saja.
Oleh karena itu, kesiapan yang baik dalam
memenuhi konskuensi setiap pilihan, dan kekuatan yang memadai dalam
mengantisipasi resiko-resikonya , tak jarang justru jauh lebih penting daripada
bentuk dan jenis pilihannya itu sendiri. Maka orang lemah adalah orang yang
memilih dengan tanpa mengantisipasi konsekuensi dan resiko pilihannya. Dan
lebih lemah lagi, adalah yang bahkan tidak memikirkan dan memperhitungkannya
sama sekali.
Lalu, disamping pertimbangan akan resiko dan
konskuensi, nilai sebuah pilihan utamanya juga sangat ditentukan oleh dasar dan
standar yang dipakai oleh setiap pemilih dalam menentukan pilihan. Sehingga
kontras dan ekstremnya perbedaan pilihan atau penilaian terhadapnya antar
berbagai pihak, seringkali karena perbedaan dasar dan standar yang dipakai oleh
masing-masing. Maka agar adil dan tidak salah, sebelum menilai pilihan
seseorang atau suatu kelompok dalam hal-hal opsional tertentu, sangatlah
penting sekali bila kita terlebih dulu mengetahui dan memahami dasar serta
standar yang dipakainya secara baik dan proporsional.
Dan bila dilihat dari sifat, dasar dan standar
yang dipakai, maka akan didapati bahwa, ada dua jenis atau kategori pilihan.
Yaitu jenis dan kategiri pilihan dengan dasar dan standar idealistis, serta
jenis dan kategiri pilihan dengan dasar pertimbangan realistis. Dan sikap
terbaik dan terideal adalah yang selalu berupaya menentukan pilihan dengan cara
memadukan antar keduanya. Namun masalahnya, akan selalu ada saja sikap-sikap
ekstrem dan kontradiktif. Dimana ada yang terlalu idealistis sampai tidak mau
mengakui adanya pilihan dengan dasar pertimbangan realstis. Sementara yang lain
realistis secara berlebihan, sehingga tampak atau minimal terkesan abai
terhadap kaedah-kaedah dasar dan prinsip-prinsip standar idealstis. Maka akan
sangat kontras sekali hasilnya, kala pilihan dengan dasar pertimbangan
realistis misalnya, dinilai dengan standar dan parameter idealistis murni.
Sebagaimana begitu pula sebaliknya, pilihan-pilihan dengan standar dan
parameter idealistis, tidak akan bisa dan mampu dipahami dengan baik dan benar
serta proporsional oleh yang hanya berorientasi dan
berpola pikir realistis semata.
Selanjutnya, merupakan
salah satu realita dan fakta yang tak terpungkiri bahwa, mayoritas pilihan
dalam berbagai aspek dan masalah kehidupan saat ini adalah merupakan
pilihan-pilihan realistis. Karena memang hampir-hampir tidak ada pilihan di
bidang apapun yang dasar dan landasannya idealistis murni. Maka umumnya sangat
dilematis sekaligus controversial sekali.
Memang kaidah normatif yang mengikat setiap muslim dan muslimah dalam hidup ini bahwa, dalam menentukan atau menilai setiap pilihan apapun, semestinya ia selalu mengacu pada standar dan parameter idealistis, untuk memperoleh pilihan yang ideal pula. Namun betapa sulitnya mendapatkan pilihan ideal itu di dalam realita kehidupan seperti sekarang ini, dimana mayoritas aspeknya telah demikian jauh atau terjauhkan dari standar komitmen, kontrol dan arahan syar’i.
Memang kaidah normatif yang mengikat setiap muslim dan muslimah dalam hidup ini bahwa, dalam menentukan atau menilai setiap pilihan apapun, semestinya ia selalu mengacu pada standar dan parameter idealistis, untuk memperoleh pilihan yang ideal pula. Namun betapa sulitnya mendapatkan pilihan ideal itu di dalam realita kehidupan seperti sekarang ini, dimana mayoritas aspeknya telah demikian jauh atau terjauhkan dari standar komitmen, kontrol dan arahan syar’i.
Sehingga hampir-hampir saja kita selalu
dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak ada satupun diantaranya yang ideal.
Sementara itu kita tidak bisa atau tidak mungkin atau tidak dibenarkan untuk
tidak memilih! Dan itu dalam hampir semua aspek kehidupan; dalam aspek sosial,
pendidikan, seni budaya, ekonomi, pekerjaan, media, berbagai sarana, hukum,
politik, dan lain-lain.
Nah dalam realita dan kondisi seperti itu, standar dan parameter yang harus dipakai dan diterapkan dalam menentukan suatu pilihan tertentu atau dalam menilainya haruslah standar realistis, dan bukan standar idealistis. Karena memang pilihan manapun yang diambil oleh siapapun tentulah merupakan pilihan realistis pula, dan tidak mungkin ada pilihan yang idealistis.
Nah dalam realita dan kondisi seperti itu, standar dan parameter yang harus dipakai dan diterapkan dalam menentukan suatu pilihan tertentu atau dalam menilainya haruslah standar realistis, dan bukan standar idealistis. Karena memang pilihan manapun yang diambil oleh siapapun tentulah merupakan pilihan realistis pula, dan tidak mungkin ada pilihan yang idealistis.
Sebagai contoh misalnya dalam bidang dakwah
Islam. Jika penerapan prinsip tadarruj (pentahapan) dalam perjuangan dakwah
Islam diibaratkan naik tangga, dan puncak idealita islami murni itu ada di tangga
10 misalnya, sementara marhalah (tahapan) dakwah saat ini baru sampai tangga 3
misalnya, maka pilihan-pilihan dakwah di marhalah ini haruslah ditentukan dan
dinilai berdasarkan standar dan parameter tangga 3 dan bukan tangga 5 atau
tangga 7 atau apalagi tangga 10!
Dan kaidah penting dalam melakukan muwazanat (perbandingan dan pertimbangan) diantara pilihan-pilihan realistis adalah sebagai berikut: Selama diantara pilihan-pilihan realistis itu masih bisa dibedakan, maka secara syar’i seorang muslim atau muslimah tetap wajib memilih diantara pilihan-pilihan yang ada itu, dan tidak dibenarkan bersikap netral atau abstain dengan tidak menentukan pilihan tertentu di antara pilihan-pilihan yang tersedia. Dan yang dimaksud dengan “masih bisa dibedakan” itu yakni selama masih bisa dibedakan dalam hal baik-buruknya dan maslahat-madharatnya, atau masih bisa dibedakan dalam hal tingkat kebaikan dan kemaslahatannya ataupun tingkat keburukan dan kemadharatannya!
Dan kaidah penting dalam melakukan muwazanat (perbandingan dan pertimbangan) diantara pilihan-pilihan realistis adalah sebagai berikut: Selama diantara pilihan-pilihan realistis itu masih bisa dibedakan, maka secara syar’i seorang muslim atau muslimah tetap wajib memilih diantara pilihan-pilihan yang ada itu, dan tidak dibenarkan bersikap netral atau abstain dengan tidak menentukan pilihan tertentu di antara pilihan-pilihan yang tersedia. Dan yang dimaksud dengan “masih bisa dibedakan” itu yakni selama masih bisa dibedakan dalam hal baik-buruknya dan maslahat-madharatnya, atau masih bisa dibedakan dalam hal tingkat kebaikan dan kemaslahatannya ataupun tingkat keburukan dan kemadharatannya!
Saat kita dihadapkan pada pilihan-pilihan yang
semuanya buruk dan madharat, seperti kebanyakan pilihan yang ada di hadapan
kita selama ini, maka secara syar’I kita wajib memilih yang tingkat keburukan
dan kemadharatannya lebih atau paling ringan dan paling rendah. Karena hanya
dengan cara itulah kita bisa mencegah pilihan yang lebih atau paling buruk dan
paling madharat. Jadi babnya disini adalah demi melakukan kewajiban inkarul
munkaril akbar (pengingkaran atau pencegahan terhadap kemungkaran yang lebih
atau paling besar), yang hanya mungkin dilakuakan dengan terpaksa memilih,
berpihak dan mendukung al-munkar al-ashghar (kemungkaran yang lebih atau paling
kecil), sesuai kaidah ikhtiyar ahwanisy-syarrain atau akhaffidh-dhararain
(memilih atau menolerir keburukan/kemadharatan yang lebih ringan dan lebih
kecil diantara dua pilihan buruk/madharatyang ada) di dalam ushul fiqih.
Dan terakhir, yang juga sangat penting
disadari dan diingat bahwa, sikap netral atau abstain, yang biasa diistilahkan
golput (golongan putih?) dalam menghadapi pilihan-pilihan realistis yang kesemuanya
buruk dan madharat, namun masih bisa dibedakan tingkat keburukan dan
kemadharatannya, pada hakekatnya merupakan sikap “memihak” dan “memenangkan”
pilihan yang lebih atau paling buruk. Namun hal itu sering tidak disadari oleh
pihak-pihak yang bersangkutan.
0 komentar:
Posting Komentar