KAN KU MENJENGUK MATAHARI
Ada baiknya, engkau biarkan aku menengok matahari di luar.
Beranda
rumah tua ini telah telanjur udzur oleh pendar usia,
maskara
putihnya telah menguning
ditumbuk
kemarau juga hujan sepenggalan.
Pohon
Keluwih yang dulu rajin engkau kecup
keningnya juga telah menyandarkan dedahanannya dalam lumut. Pabila pawana tak berkerudung bertandang
maka
reranting kanaknya membimbing jemari lentik daun menghitung;
satu
ditambah satu sama dengan dua,
dan
dua ditambah dua sama dengan empat.
Seraya
menikmati keibuan pagi,
pohon
Keluwih itu menemani sesaknya catatan buku harian,
tentang
tumbuh-punahnya sebuah harapan,
tentang
datang-perginya petikan nada asmara,
juga
tentang mimpiku dan mimpi merpati.
Di mana langkah ku retas, di situ langkah ku eja.
Mintaku
untuk menjenguk matahari
bukan pamrih beraroma teh poci. Juga, bukan dengung lebah di musim bercinta. Hanya sebuah tukikan mendalam tentang dekatnya peradaban angan adalah pintaku.
Andai
kau kata bahwa menengok matahari hanya kiasan tak bertanda maka buka
telingamu
untuk bisikan lokaswara yang berhembus malu-malu. Baru, kita bisa bersepaham buat mengeja. Tatkala, aku bisa menjamu hangat asmara matahari.
Kan aku sua noktah,
garis, huruf, kata, frasa, klausa, kalimat, alinea, teristimewa wacana
berpayudara yang tersenyum menterjemahkan siapa yang menyanyi di taman hati
malam tadi.
Izinkan aku,
Izinkan aku,
restui aku untuk menjenguk matahari.
Setialah
senantiasa di kamar sabar menanti.
Kelak ku akan pulang tak hanya meminjam pewarta,
Karena aku
akan pulang sebagai kekasih yang usai menjenguk matahari.
|
Home » Archives for November 2013
Senin, 25 November 2013
MENJENGUK MATAHARI
Label:
IMAJINASI
Langganan:
Postingan (Atom)